Posted by : Apin
Jumat, 10 Oktober 2014
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah.
Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi,
dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang
di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.
Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada,
berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya
adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari
masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan
Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak
di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan
mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir
dari era ini.
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha.[1] Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha.
Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat
untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala
non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.
Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru.[2]
Karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan
pahatan berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru.[2] Candi-candi dan pesan yang disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.[3]
Beberapa candi seperti Candi Borobudur dan Prambanan
dibangun amat megah, detil, kaya akan hiasan yang mewah, bercitarasa
estetika yang luhur, dengan menggunakan teknologi arsitektur yang maju
pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi bukti betapa
tingginya kebudayaan dan peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.[4]
Terminologi
"Antara abad ke-7 dan ke-15 masehi, ratusan bangunan keagamaan
dibangun dari bahan bata merah atau batu andesit di pulau Jawa,
Sumatera, dan Bali. Bangunan ini disebut candi. Istilah ini juga merujuk
kepada berbagai bangunan pra-Islam termasuk gerbang, dan bahkan
pemandian, akan tetapi manifestasi utamanya tetap adalah bangunan suci
keagamaan."
— Soekmono, R. "Candi:Symbol of the Universe".
Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian.[6]
Karenanya candi selalu dihubungkan dengan monumen tempat pedharmaan
untuk memuliakan raja anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati.
Penafsiran yang berkembang di luar negeri — terutama di antara
penutur bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya — adalah; istilah candi hanya merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha di Nusantara, yaitu di Indonesia dan Malaysia saja (contoh: Candi Lembah Bujang di Kedah). Sama halnya dengan istilah wat
yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan Thailand. Akan tetapi dari
sudut pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk kepada
semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh dunia; tidak hanya di
Nusantara, tetapi juga Kamboja, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Sri Lanka, India, dan Nepal; seperti candi Angkor Wat di Kamboja dan candi Khajuraho di India. Istilah candi juga terdengar mirip dengan istilah chedi dalam bahasa Thailand yang berarti 'stupa'.
Candi di Indonesia
Sebaran candi Hindu dan Buddha di Indonesia.
Di Indonesia, candi dapat ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan,
akan tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Kebanyakan orang Indonesia mengetahui adanya candi-candi di
Indonesia yang termasyhur seperti Borobudur, Prambanan, dan Mendut.[7]
Pada suatu era dalam sejarah Indonesia, yaitu dalam kurun abad ke-8
hingga ke-10 tercatat sebagai masa paling produktif dalam pembangunan
candi. Pada kurun kerajaan Medang Mataram ini candi-candi besar dan kecil memenuhi dataran Kedu dan dataran Kewu
di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hanya peradaban yang cukup makmur dan
terpenuhi kebutuhan sandang dan pangannya sajalah yang mampu menciptakan
karya cipta arsitektur bernilai seni tinggi seperti ini. Beberapa candi
yang bercorak Hindu di Indonesia adalah Candi Prambanan, Candi Jajaghu (Candi Jago), Candi Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Panataran, Candi Angin, Candi Selogrio, Candi Pringapus, Candi Singhasari, dan Candi Kidal.[8] Candi yang bercorak Buddha antara lain Candi Borobudur dan Candi Sewu.[8] Candi Prambanan di Jawa Tengah adalah salah satu candi Hindu-Siwa yang paling indah.[9] Candi itu didirikan pada abad ke-9 Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuno.[9]
Nama candi
Kebanyakan candi-candi yang ditemukan di Indonesia tidak diketahui nama aslinya. Kesepakatan di dunia arkeologi
adalah menamai candi itu berdasarkan nama desa tempat ditemukannya
candi tersebut. Candi-candi yang sudah diketahui masyarakat sejak dulu,
kadang kala juga disertai dengan legenda yang terkait dengannya.
Ditambah lagi dengan temuan prasasti atau mungkin disebut dalam naskah
kuno yang diduga merujuk kepada candi tersebut. Akibatnya nama candi
dapat bermacam-macam, misalnya candi Prambanan, candi Rara Jonggrang,
dan candi Siwagrha merujuk kepada kompleks candi yang sama. Prambanan
adalah nama desa tempat candi itu berdiri. Rara Jonggrang
adalah legenda rakyat setempat yang terkait candi tersebut. Sedangkan
Siwagrha (Sanskerta: "rumah Siwa") adalah nama bangunan suci yang
dipersembahkan untuk Siwa yang disebut dalam Prasasti Siwagrha dan merujuk kepada candi yang sama. Berikut adalah sebagian kecil candi-candi yang dapat diketahui kemungkinan nama aslinya:
Bayu (?) (berdasarkan warga)
|
Bhumisambharabudhara (Sanskerta:"sepuluh tingkatan kebajikan bodhisatwa", berdasarkan prasasti Tri Tepusan)
|
Pawon (Jawa: "dapur" atau "pa-awu-an", tempat abu)
|
Vajranala (?) (Sanskerta: "api halilintar" berdasarkan nama desa)
|
Vajrajinaparamitapura (Sanskerta:"Istana Wajra Jina (Buddha) Paramita", berdasarkan Nagarakretagama)
|
Selebihnya, nama candi-candi lain biasanya dinamakan berdasarkan nama desanya.
Jenis dan Fungsi
Jenis berdasarkan agama
Candi Jawi yang bersifat paduan Siwa-Buddha tempat pedharmaan raja Kertanegara.
Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan
menjadi candi Hindu, candi Buddha, paduan sinkretis Siwa-Buddha, atau
bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya dan mungkin bukan bangunan
keagamaan.
Candi Hindu, yaitu candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu
seperti Siwa atau Wisnu, contoh: candi Prambanan, candi Gebang, kelompok
candi Dieng, candi Gedong Songo, candi Panataran, dan candi Cangkuang.
Candi Buddha, candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau keperluan bhiksu sanggha, contoh candi Borobudur, candi Sewu, candi Kalasan, candi Sari, candi Plaosan, candi Banyunibo, candi Sumberawan, candi Jabung, kelompok candi Muaro Jambi, candi Muara Takus, dan candi Biaro Bahal.
Candi Siwa-Buddha, candi sinkretis perpaduan Siwa dan Buddha, contoh: candi Jawi.
Candi non-religius, candi sekuler atau tidak jelas sifat atau tujuan keagamaan-nya, contoh: candi Ratu Boko, Candi Angin, gapura Bajang Ratu, candi Tikus, candi Wringin Lawang.
Jenis berdasarkan hirarki dan ukuran
Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas beberapa
hirarki, dari candi terpenting yang biasanya sangat megah, hingga candi
sederhana. Dari tingkat skala kepentingannya atau peruntukannya, candi
terbagi menjadi:
Candi Kerajaan, yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga
kerajaan, tempat digelarnya upacara-upacara keagamaan penting kerajaan.
Candi kerajaan biasanya dibangun mewah, besar, dan luas. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Panataran.
Candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan oleh
masyarakat pada daerah atau desa tertentu pada suatu kerajaan. Candi ini
biasanya kecil dan hanya bangunan tunggal yang tidak berkelompok.
Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahan di Tulung Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.
Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh, dapat dikatakan memiliki fungsi mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati, raja Singhasari), candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi Rimbi (pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk), Candi Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).
Fungsi
Candi Jalatunda yang berfungsi sebagai petirtaan.
Candi dapat berfungsi sebagai:
Candi Pemujaan: candi Hindu yang paling umum, dibangun untuk memuja dewa, dewi, atau bodhisatwa tertentu, contoh: candi Prambanan, candi Canggal, candi Sambisari, dan candi Ijo yang menyimpan lingga dan dipersembahkan utamanya untuk Siwa, candi Kalasan dibangun untuk memuliakan Dewi Tara, sedangkan candi Sewu untuk memuja Manjusri.
Candi Stupa:
didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik buddhis, atau
sarana ziarah agama Buddha. Secara tradisional stupa digunakan untuk
menyimpan relikui buddhis seperti abu jenazah, kerangka, potongan kuku,
rambut, atau gigi yang dipercaya milik Buddha Gautama, atau bhiksu
Buddha terkemuka, atau keluarga kerajaan penganut Buddha. Beberapa stupa
lainnya dibangun sebagai sarana ziarah dan ritual, contoh: candi Borobudur, candi Sumberawan, dan candi Muara Takus
Candi Pedharmaan: sama dengan kategori candi pribadi, yakni
candi yang dibangun untuk memuliakan arwah raja atau tokoh penting yang
telah meninggal. Candi ini kadang berfungsi sebagai candi pemujaan juga
karena arwah raja yang telah meninggal seringkali dianggap bersatu
dengan dewa perwujudannya, contoh: candi Belahan tempat Airlangga dicandikan, arca perwujudannya adalah sebagai Wishnu menunggang Garuda. Candi Simping di Blitar, tempat Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa Harihara.
Candi Pertapaan: didirikan di lereng-lereng gunung tempat bertapa, contoh: candi-candi di lereng Gunung Penanggungan, kelompok candi Dieng dan candi Gedong Songo, serta Candi Liyangan di lereng timur Gunung Sundoro, diduga selain berfungsi sebagai pemujaan, juga merupakan tempat pertapaan sekaligus situs permukiman.
Candi Wihara:
didirikan untuk tempat para biksu atau pendeta tinggal dan bersemadi,
candi seperti ini memiliki fungsi sebagai permukiman atau asrama,
contoh: candi Sari dan Plaosan
Candi Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: gerbang di kompleks Ratu Boko, Bajang Ratu, Wringin Lawang, dan candi Plumbangan.
Candi Petirtaan: didirikan didekat sumber air atau di tengah kolam dan fungsinya sebagai pemandian, contoh: Petirtaan Belahan, Jalatunda, dan candi Tikus
Beberapa bangunan purbakala, seperti batur-batur landasan pendopo
berumpak, tembok dan gerbang, dan bangunan lain yang sesungguhnya bukan
merupakan candi, seringkali secara keliru disebut pula sebagai candi.
Bangunan seperti ini banyak ditemukan di situs Trowulan, atau pun paseban atau pendopo di kompleks Ratu Boko yang bukan merupakan bangunan keagamaan.
Arsitektur
Sebaran candi Hindu dan Buddha di dataran Kewu, sekitar Prambanan.
Pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin
yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu
bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India
Selatan, yang tidak hanya berisi pedoman-pedoman membuat kuil beserta
seluruh komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota,
desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota dan desa.
Lokasi
Kitab-kitab ini juga memberikan pedoman mengenai pemilihan lokasi
tempat candi akan dibangun. Hal ini terkait dengan pembiayaan candi,
karena biasanya untuk pemeliharaan candi maka ditentukanlah tanah sima,
yaitu tanah swatantra bebas pajak yang penghasilan panen berasnya
diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan candi. Beberapa prasasti
menyebutkan hubungan antara bangunan suci dengan tanah sima ini. Selain
itu pembangunan tata letak candi juga seringkali memperhitungkan letak
astronomi (perbintangan).
Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di
Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di
dekat air, baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai,
danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau
meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan
suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah
candi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, atau di lembah.
Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat
sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai Elo
dan sungai Progo. Sedangkan candi Prambanan terletak di dekat sungai
Opak. Sebaran candi-candi di Jawa Tengah banyak tersebar di kawasan
subur dataran Kedu dan dataran Kewu.
Struktur
Kaki, tubuh, dan atap candi Prambanan.
Kebanyakan bentuk bangunan candi meniru tempat tinggal para dewa yang sesungguhnya, yaitu Gunung Mahameru.
Oleh karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran
dan pahatan berupa pola yang menggambarkan alam Gunung Mahameru.[2]
Peninggalan-peninggalan purbakala, seperti bangunan-bangunan candi, patung-patung, prasasti-prasasti, dan ukiran-ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan Indonesia yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha.[10] Pada hakikatnya, bentuk candi-candi di Indonesia adalah punden berundak, dimana punden berundak sendiri merupakan unsur asli Indonesia.[11]
Berdasarkan bagian-bagiannya, bangunan candi terdiri atas tiga bagian penting, antara lain, kaki, tubuh, dan atap.[12]
Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha disebut kamadhatu.
Yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis,
raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu
rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang
pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk
denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga masuk
candi terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk hanya
terdapat pada bagian depan, pada candi besar tangga masuk terdapat di
empat penjuru mata angin. Biasanya pada kiri-kanan tangga masuk dihiasi
ukiran makara.
Pada dinding kaki candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa
sulur-sulur tumbuhan, atau pada candi tertentu dihiasi figur penjaga
seperti dwarapala.
Pada bagian tengah alas candi, tepat di bawah ruang utama biasanya
terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (peti batu). Sumur ini
biasanya diisi sisa hewan kurban yang dikremasi, lalu diatasnya
diletakkan pripih. Di dalam pripih ini biasanya terdapat abu jenazah
raja serta relik benda-benda suci seperti lembaran emas bertuliskan
mantra, kepingan uang kuno, permata, kaca, potongan emas, lembaran
perak, dan cangkang kerang.
Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha disebut rupadhatu.
Yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai
pencerahan dan kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang
pintu menuju ruangan dalam candi. Gawang pintu candi ini biasanya
dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-tengah pintu dan diapit pola makara di kiri dan kanan pintu. Tubuh candi terdiri dari garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca
utama, misalnya arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha yang dipuja di
candi itu. Di bagian luar dinding di ketiga penjuru lainnya biasanya
diberi relung-relung yang berukir relief atau diisi arca. Pada candi
besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan tersendiri selain
ruangan utama di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk
menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan ritual yang
disebut pradakshina. Pada lorong keliling ini dipasangi pagar
langkan, dan pada galeri dinding tubuh candi maupun dinding pagar
langkan biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat naratif (berkisah)
atau pun dekoratif (hiasan).
Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Pada konsep Buddha disebut arupadhatu. Yaitu menggambarkan ranah surgawi
tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam.
Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang semakin atas
semakin kecil ukurannya. Sedangkan atap langgam Jawa Timur terdiri atas
banyak tingkatan yang membentuk kurva limas yang menimbulkan efek ilusi
perspektif yang mengesankan bangunan terlihat lebih tinggi. Pada puncak
atap dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau lingga
semu. Pada candi-candi langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya
berbentuk kubus atau silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap
biasanya dihiasi ornamen antefiks, yaitu ornamen dengan tiga bagian
runcing penghias sudut. Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos,
akan tetapi pada candi-candi besar, atap candi ada yang dihiasi berbagai
ukiran, seperti relung berisi kepala dewa-dewa, relief dewa atau
bodhisatwa, pola hias berbentuk permata atau kala, atau sulur-sulur
untaian roncean bunga.
Tata letak
Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok.
Ada dua sistem dalam pengelompokan atau tata letak kompleks candi,
yaitu:
Sistem konsentris, sistem gugusan terpusat; yaitu posisi
candi induk berada di tengah–tengah anak candi (candi perwara). Candi
perwara disusun rapi berbaris mengelilingi candi induk. Sistem ini
dipengaruhi tata letak denah mandala dari India. Contohnya kelompok Candi Prambanan dan Candi Sewu.
Sistem berurutan, sistem gugusan linear berurutan; yaitu
posisi candi perwara berada di depan candi induk. Ada yang disusun
berurutan simetris, ada yang asimetris. Urutan pengunjung memasuki
kawasan yang dianggap kurang suci berupa gerbang dan bangunan tambahan,
sebelum memasuki kawasan tersuci tempat candi induk berdiri. Sistem ini
merupakan sistem tata letak asli Nusantara yang memuliakan tempat yang
tinggi, sehingga bangunan induk atau tersuci diletakkan paling tinggi di
belakang mengikuti topografi alami ketinggian tanah tempat candi
dibangun. Contohnya Candi Penataran dan Candi Sukuh. Sistem ini kemudian dilanjutkan dalam tata letak Pura Bali.
Bahan bangunan
Tumpukan susunan balok batu andesit di Borobudur yang rapi dan saling kunci menyerupai balok permainan lego.
Bahan material bangunan pembuat candi bergantung kepada lokasi dan
ketersediaan bahan serta teknologi arsitektur masyarakat pendukungnya.
Candi-candi di Jawa Tengah menggunakan batu andesit, sedangkan
candi-candi pada masa Majapahit di Jawa Timur banyak menggunakan bata
merah. Demikian pula candi-candi di Sumatera seperti Biaro Bahal, Muaro
Jambi, dan Muara Takus yang berbahan bata merah. Bahan-bahan untuk
membuat candi antara lain:
Batu andesit,
batu bekuan vulkanik yang ditatah membentuk kotak-kotak yang saling
kunci. Batu andesit bahan candi harus dibedakan dari batu kali. Batu
kali meskipun mirip andesit tapi keras dan mudah pecah jika ditatah
(sukar dibentuk). Batu andesit yang cocok untuk candi adalah yang
terpendam di dalam tanah sehingga harus ditambang di tebing bukit.
Batu putih (tuff), batu endapan piroklastik berwarna putih, digunakan di Candi Pembakaran di kompleks Ratu Boko. Bahan batu putih ini juga ditemukan dijadikan sebagai bahan isi candi, dimana bagian luarnya dilapis batu andesit
Bata merah, dicetak dari lempung tanah merah yang dikeringkan dan dibakar. Candi Majapahit dan Sumatera banyak menggunakan bata merah.
Stuko (stucco), yaitu bahan semacam beton dari tumbukan batu dan pasir. Bahan stuko ditemukan di percandian Batu Jaya.
Bajralepa (vajralepa), yaitu bahan lepa pelapis
dinding candi semacam plaster putih kekuningan untuk memperhalus dan
memperindah sekaligus untuk melindungi dinding dari kerusakan. Bajralepa
dibuat dari campuran pasir vulkanik dan kapur halus. Konon campuran
bahan lain juga digunakan seperti getah tumbuhan, putih telur, dan
lain-lain. Bekas-bekas bajralepa ditemukan di candi Sari dan candi
Kalasan. Kini pelapis bajralepa telah banyak yang mengelupas.
Kayu, beberapa candi diduga terbuat dari kayu atau memiliki
komponen kayu. Candi kayu serupa dengan Pura Bali yang ditemukan kini.
Beberapa candi tertinggal hanya batu umpak atau batur landasannya saja
yang terbuat dari batu andesit atau bata, sedangkan atasnya yang terbuat
dari bahan organik kayu telah lama musnah. Beberapa dasar batur di
Trowulan Majapahit disebut candi, meskipun sesungguhnya merupakan
landasan pendopo yang bertiang kayu. Candi Sambisari dan candi Kimpulan memiliki umpak yang diduga candi induknya dinaungi bangunan atap kayu. Beberapa candi seperti Candi Sari dan Candi Plaosan
memiliki komponen kayu karena pada struktur batu ditemukan bekas
lubang-lubang untuk meletakkan kayu gelagar penyangga lantai atas, serta
lubang untuk menyisipkan daun pintu dan jeruji jendela.
Gaya arsitektur
Candi Pawon dekat Borobudur, contoh Langgam Jawa Tengah.
Gerbang Bajang Ratu di Trowulan, contoh Langgam Jawa Timur.
Soekmono,
seorang arkeolog terkemuka di Indonesia, mengidentifikasi perbedaan
gaya arsitektur (langgam) antara candi Jawa tengah dengan candi Jawa
Timur. Langgam Jawa Tengahan umumnya adalah candi yang berasal dari
sebelum tahun 1000 masehi, sedangkan langgam Jawa Timuran umumnya adalah
candi yang berasal dari sesudah tahun 1000 masehi. Candi-candi di
Sumatera dan Bali, karena kemiripannya dikelompokkan ke dalam langgam
Jawa Timur.[2][13][14]
Cenderung tinggi dan ramping
|
Jelas menunjukkan undakan, umumnya terdiri atas 3 tingkatan
|
Atapnya merupakan kesatuan tingkatan. Undakan-undakan kecil yang
sangat banyak membentuk kesatuan atap yang melengkung halus. Atap ini
menimbulkan ilusi perspektif sehingga bangunan berkesan lebih tinggi
|
Stupa (candi Buddha), Ratna, Wajra, atau Lingga Semu (candi Hindu)
|
Kubus (kebanyakan candi Hindu), terkadang Dagoba yang berbentuk tabung (candi Buddha)
|
Gawang pintu dan hiasan relung
|
Gaya Kala-Makara; kepala Kala dengan mulut menganga tanpa rahang
bawah terletak di atas pintu, terhubung dengan Makara ganda di
masing-masing sisi pintu
|
Hanya kepala Kala tengah menyeringai lengkap dengan rahang bawah terletak di atas pintu, Makara tidak ada
|
Ukiran lebih tinggi dan menonjol dengan gambar bergaya naturalis
|
Ukiran lebih rendah (tipis) dan kurang menonjol, gambar bergaya seperti wayang Bali
|
Undakan jelas, biasanya terdiri atas satu bagian kaki kecil dan satu
bagian kaki lebih besar. Peralihan antara kaki dan tubuh jelas
membentuk selasar keliling tubuh candi
|
Undakan kaki lebih banyak, terdiri atas beberapa bagian batur-batur
yang membentuk kaki candi yang mengesankan ilusi perspektif agar
bangunan terlihat lebih tinggi. Peralihan antara kaki dan tubuh lebih
halus dengan selasar keliling tubuh candi lebih sempit
|
Tata letak dan lokasi candi utama
|
Mandala konsentris, simetris, formal; dengan candi utama terletak
tepat di tengah halaman kompleks candi, dikelilingi jajaran candi-candi perwara yang lebih kecil dalam barisan yang rapi
|
Linear, asimetris, mengikuti topografi (penampang ketinggian)
lokasi; dengan candi utama terletak di belakang, paling jauh dari pintu
masuk, dan seringkali terletak di tanah yang paling tinggi dalam
kompleks candi, candi perwara terletak di depan candi utama
|
Kebanyakan menghadap ke timur
|
Kebanyakan menghadap ke barat
|
Meskipun demikian terdapat beberapa pengecualian dalam pengelompokkan
langgam candi ini. Sebagai contoh candi Penataran, Jawi, Jago, Kidal,
dan candi Singhasari jelas masuk dalam kelompok langgam Jawa Timur, akan
tetapi bahan bangunannya adalah batu andesit, sama dengan ciri candi
langgam Jawa Tengah; dikontraskan dengan reruntuhan Trowulan seperti candi Brahu, serta candi Majapahit lainnya seperti candi Jabung dan candi Pari
yang berbahan bata merah. Bentuk candi Prambanan adalah ramping serupa
candi Jawa Timur, tapi susunan dan bentuk atapnya adalah langgam Jawa
Tengahan. Lokasi candi juga tidak menjamin kelompok langgamnya, misalnya
candi Badut
terletak di Malang, Jawa Timur, akan tetapi candi ini berlanggam Jawa
Tengah yang berasal dari kurun waktu yang lebih tua di abad ke-8 masehi.
Bahkan dalam kelompok langgam Jawa Tengahan terdapat perbedaan
tersendiri dan terbagi lebih lanjut antara langgam Jawa Tengah Utara
(misalnya kelompok Candi Dieng) dengan Jawa Tengah Selatan (misalnya
kelompok Candi Sewu). Candi Jawa Tengah Utara ukirannya lebih sederhana,
bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit; sedangkan
langgam candi Jawa Tengah Selatan ukirannya lebih raya dan mewah,
bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak
dengan tata letak yang teratur.
Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan
kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia,
seperti kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini tampak jelas pada candi Sukuh dan candi Cetho di lereng gunung Lawu, selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah.
Lihat pula
Galeri
Candi Sewu, candi Buddha terbesar kedua setelah Borobudur
( SUMBER : id.wikipedia.org)